Sejarah dan Pelaksanaan Tradisi Mubeng Beteng di Yogyakarta

  • Whatsapp

Mubeng Beteng disebut juga dengan topo bisu. Yaitu sebuah ritual lampah bisu yang termasuk dalam budaya lokal Jawa di Yogyakarta. Tradisi ini sangat menarik sehingga menjadi salah satu daya tarik tersendiri di Yogyakarta. Bahkan lebih menariknya lagi adalah Mubeng Beteng ternyata termasuk Warisan Budaya Nasional.

Mubeng Beteng merupakan ritual untuk menyambut awal tahun baru dalam penanggalan Jawa. Yaitu menyambut malam 1 Suro dengan cara berjalan kaki sejauh 4 km sambil mengelilingi Benteng Keraton Kesultanan Yogyakarta. Tradisi ini boleh diikuti oleh siapa saja, namun harus dengan diam tanpa kata.

Ritual ini dilakukan untuk refleksi masyarakat Jawa di hadapan sang Pencipta. Maka dari itu mereka mewujudkannya dengan cara mengelilingi Benteng sambil kebisuan. Ini berbeda sekali dengan sambutan tahun baru Masehi yang umumnya dirayakan dengan suka cita.

Sejarah Tradisi Mubeng Beteng di Yogyakarta

Penetapan malam 1 suro ini merujuk pada kalender Sultan Agungan. Ini adalah hari penting yang diperingati sejak tahun 1936 sampai dengan 2056. Hal ini sudah tertulis ke dalam Keraton Yogyakarta. Jadi ritual ini bukan termasuk budaya pihak keraton. Namun tradisi ini sudah ada sejak abad 6.

Jadi sebelum kerajaan Mataram Hindu berdiri, tradisi Mubeng Beteng ini sudah ada lebih dulu. Saat itu, tradisi ini disebut dengan Munjer atau Muser. Artinya adalah mengelilingi pusat. Pusat di sini maksudnya adalah wilayah desa dari kemunculan kerajaan. Itulah sebabnya tradisi Muser dialihkan menjadi mengelilingi pusat kerajaan.

Sementara itu, pada kerajaan mataram di Kotagede, tradisi ini dapat dilihat dari kegiatan para prajurit yang diminta untuk berjaga. Mereka harus mengelilingi benteng sambil menjaga keraton. Setelah parit dibangun oleh kerajaan di sekeliling benteng, maka tugas mengelilingi kerajaan diahlihkan ke keraton.

Abdi dalem ini umumnya selalu menjalankan tugasnya dengan berdiam membisu sambil membaca do’a. Mereka semua selalu membaca doa’a dalam hati sambil memohon keselamatan-Nya kepada Tuhan. Sejak saat itulah Mubeng Beteng semakin berkembang dan dilakukan di malam 1 Suro.

Pelaksanaan Mubeng Beteng di Yogyakarta

Ritual Mubeng Beteng ini umumnya dimulai dini hari jam 1 pagi. Prosesnya ditandai dengan adanya lonceng Kyai Brajanala yang terletak di Regol Keben. Biasanya bunyi loncengnya berjumlah 12 kali. Selanjutnya para warga masyarakat yang ingin mengikutinya bisa berkumpul menuju pelataran Keben Keraton.

Meskipun dimulai pada dini hari, ternyata banyak warga masyarakat yang antusias untuk mengikutinya. Bahkan biasanya Pelataran Keben ini mulai ramai dari jam 8 malam. Dalam prosesnya, perjalanannya umumnya dimulai dengan cara berjalan kaki dari Regol Keben.

Untuk rutenya biasanya tetap sama, sesuai dengan yang sudah ditentukan sebelumnya. Yaitu dari Keben menuju ke jalan Rotowijayan dan Kauman. Setelah itu dilanjutkan menuju ke jalan Agus Salim dan Wahid Hasyim. Setelah itu dilanjutkan menuju ke Suryowijayan dan pojok Benteng Kulon hingga ke Alun-alun Utara.

Dalam prosesnya umumnya para Abdi Dalem berada di barisan yang terdepan sambil membawa panji-panji Keraton, bendera, kemenyan, dan lampu teplok. Para masyarakat yang ingin mengikuti acaranya bisa berjalan dibelakang Abdi Dalem tanpa kata, makanan, dan rokok.

Selain itu, para peserta diharapkan bisa merefleksikan apa yang sudah dilakukan pada tahun lalu, sambil berdoa untuk kebaikan di masa mendatang. Meskipun hanya berjalan kaki, namun tradisi ini cukup menarik perhatian para masyarakat. Bahkan banyak wisatawan berkunjung ke Yogyakarta untuk mengikuti acara Mubeng Beteng.

Related posts