Gudeg merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang terkenal dengan kelezatannya. Masakan ini merupakan hidangan tradisional dan khas dari provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, Indonesia. Dalam perkembangannya, masyarakat mengenal gudeg terkenal dari Yogyakarta yang membuat kota ini dikenal sebagai Kota Gudeg. Sejarah gudeg di Yogyakarta dimulai dengan dibangunnya kerajaan Mataram Islam di atas alas Mentaok di kawasan Kotagede pada tahun 1500-an.
Gudeg sebenarnya bukan berasal dari kerajaan tetapi berasal dari masyarakat. Pada abad ke-19 tidak banyak yang menjual gudeg. Gudeg mulai populer dan diperdagangkan secara luas pada tahun 1940-an ketika Presiden Soekarno membangun Universitas Gajah Mada (UGM) hingga sekarang. Gudeg terbuat dari nangka muda mentah atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan gori.
Berbeda dengan “makanan cepat saji” barat, Gudeg adalah contoh sempurna dari masakan Jawa yang lambat dan menyeluruh. Proses pembuatan rebusan nangka tradisional ini memang melelahkan dan membosankan. Hampir setiap bagian dari proses memakan waktu, dan harus dilakukan dengan presisi. Oleh karena itu, membuat Gudeg yang sempurna bisa memakan waktu hampir satu hari penuh. Di satu sisi, ini adalah cerminan sempurna dari filosofi Jawa tentang ketenangan, kesabaran, dan ketelitian, sebagai lawan dari terburu-buru dan sembrono.
Bahan utama gudeg adalah nangka muda yang masih mentah, yang dikenal masyarakat lokal sebagai gori. Dalam prosesnya, nangka muda parut direbus dengan gula aren dan santan dengan api kecil selama beberapa jam. Rasanya paling enak saat dimasak dalam panci tanah liat di atas api kayu atau arang. Bawang putih, bawang merah, kemiri, biji ketumbar, lengkuas, daun salam, kemudian daun jati ditambahkan ke dalam campuran yang memberikan warna coklat kemerahan pada masakan. Karena didominasi rasa manis, Gudeg sering digambarkan sebagai “sup manis nangka muda”.
Dengan berbagai campuran rempah-rempah tersebut, gudeg menjadi nikmat dan memiliki cita rasa yang khas dan nikmat sesuai dengan selera masyarakat Jawa pada umumnya. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg biasanya dimakan dengan nasi dan disajikan dengan santan kental, ayam kampung, telur, tempe, tahu, dan sambal goreng krecek.
Jika dibeli di warung pinggir jalan biasanya dikemas dalam besek sebuah ungkusan berbentuk persegi panjang yang terbuat dari daun bambu. Hidangan ini disantap untuk sarapan, makan siang atau makan malam dan warung makan yang menjual gudeg biasanya buka dari pagi hingga sore hari.
Ada beberapa jenis gudeg; kering, basah. Gudeg kering memiliki sedikit santan sehingga kuahnya lebih sedikit sedangkan gudeg basah memiliki banyak santan. Gudeg paling umum berasal dari Yogyakarta, dan biasanya lebih manis, lebih kering dan berwarna kemerahan karena penambahan daun jati untuk pewarna. Gudeg Solo dari kota Surakarta lebih encer dan kental, santannya banyak, dan warnanya keputih-putihan karena umumnya tidak ditambah daun jati. Gudeg Yogyakarta biasa disebut “gudeg merah”, sedangkan gudeg Solo disebut juga “gudeg putih”. Gudeg khas Jawa Timur memiliki rasa yang lebih pedas dan lebih pedas dari gudeg Yogyakarta yang manis.
Gudeg dapat ditemukan di hampir setiap bagian Yogyakarta; Namun tempat paling populer untuk Gudeg adalah di Wijilan dan Barek. Wijilan terletak tidak terlalu jauh dari keraton Yogyakarta dan dapat dicapai dengan becak becak atau 10 menit berjalan kaki dari sini. Ada lebih dari 17 rumah makan di kawasan ini yang menjual gudeg dengan cita rasa dan sentuhan khasnya masing-masing. Pusat Gudeg lainnya, Barek, terletak di sisi utara Yogyakarta dekat Universitas Gadjah Mada. Di sini juga banyak restoran dan tenda pinggir jalan yang menawarkan hidangan legendaris ini.
Foto: Indonesia.travel