Pernah berkunjung ke Malioboro pada hari Selasa Wage? Tentunya hari tersebut merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian besar orang karena di saat itulah kawasan Malioboro menjadi bebas kendaraan apapun. Perayaan ini sudah ada sejak bulan September 2017 yang lalu.
Karena keunikannya inilah membuat hari tersebut menjadi bagian terpenting bagi pelaku usaha yang berada di Malioboro. Karena setiap hari Selasa Wage, para PKL wajib memberikan ruang (libur) di kawasan ini supaya bisa membersihkan diri dan bernafas lega. Jadi selama seharian penuh mereka tidak akan berjualan.
Melainkan mereka akan melakukan kegiatan lainnya yang disebut bersih-bersih bersama (reresik). Itulah sebabnya Malioboro menjadi tempat terbaik untuk liburan karena kebersihannya selalu terjaga. Namun kenapa tradisi ini dilaksanakan pada hari Selasa Wage? Mengingat masih banyak hari baik selain Selasa Wage.
Filosofi Selasa Wage
Selasa Wage dihitung berdasarkan kalender Jawa. Umumnya Selasa Wage disebut dengan selapanan karena muncul setiap 35 hari sekali. Berdasarkan filosofi Jawa, Selasa itu berarti selo-selone menungso. Artinya hari selasa merupakan momen ketika manusia sedang sepi (tidak beraktivitas).
Dari inspirasi ini, kemudian para PKL dan pedagang di kawasan Malioboro kemudian meliburkan diri setiap hari Selasa Wage. Selain menggunakan filosofi tersebut, pasaran ini bertepatan dengan hari lahirnya Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sehingga hari tersebut menjadi sangat istimewa.
Bahkan ternyata hal ini juga disepakati oleh para pedagang. Mereka mengaku tidak keberatan akan kehilangan omsetnya senilai Rp 1 jutaan per hari karena ada momen ini. Malam sebelum mereka libur biasanya melakukan kegiatan ronda. Setelah itu, di pagi harinya mereka melakukan kerja bakti massal.
Tradisi ini dilakukan guna menjaga kebersihan di kawasan Malioboro supaya bila ada fasilitas umum yang kurang bisa segera diatasi. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh semua orang, baik dari kusir andong, PKL, seniman, pengayuh becak, dan komunitas masyarakat untuk menjaga keindahan Malioboro.
Beberapa diantaranya seperti menyirami tanaman, menyapu, membuang sampah pada tempatnya, hingga memperbaiki semua fasilitas umum yang rusak. Maka dari itu kegiatan ini sangat didukung oleh Walikota Yogyakarta supaya ruang publik ini harus dirawat dengan baik supaya bisa memberikan kenyamanan kepada masyarakat setempat.
Keunikan Selasa Wage Malioboro
Dengan adanya kegiatan yang berbeda dari biasanya, tentunya hari Selasa Wage ini menjadi semakin menarik bagi sebagian besar orang. Maka dari itu banyak wisatawan selalu datang di hari tersebut. Berikut ini adalah keunikan dari hari Selasa Wage di kawasan Malioboro, antara lain:
- Selain bebas PKL, jalanan Malioboro ditutup dari jam 6 pagi hingga 9 malam. Sehingga ruas jalannya benar-benar bebas kendaraan umum, kecuali becak, bus Trans Jogja, dan ambulans. Karena sepi, kawasan ini sering dimanfaatkan warga setempat untuk melakukan kegiatan ber Selain menyehatkan, kegiatan ini juga asyik.
- Dengan adanya tradisi yang unik seperti ini membuat kawasan Malioboro memiliki daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Itulah sebabnya meskipun di hari Selasa Wage bebas kendaraan, namun justru momen itu biasanya dimanfaatkan para wisatawan untuk menikmati suasana yang berbeda di jalan Malioboro ini.
- Tidak hanya bebas PKL, penutupan jalan Malioboro di hari tersebut dilakukan guna mewujudkan pedestrian. Itulah sebabnya pada hari tersebut biasanya ada banyak ragam seni atraksi yang dapat dilihat para wisatawan di sepanjang jalan. Anda bisa melihat penampilan para seniman dari anak-anak sampai dengan orang dewasa.
Melihat sedikit penjelasan di atas, maka Selasa Wage itu merupakan momen terbaik untuk menghabiskan waktu di pusat kota Gudeg. Maka dari itu bila Anda sedang berkunjung ke kota Jogja, pastikan tidak lupa mengatur jadwal dengan baik supaya bisa merasakan keseruan momen Selasa Wage di Malioboro.
Sering mampir ke Yogyakarta dan jalan-jalan ke Malioboro tapi tida mengetahui sejarah mengenai pusat belanja paling popular di Yogyakarta seperti ada yang kurang. Makannya kali ini Jogjaku akan mengupsas tuntas mengenai Malioboro yang sering sekali dijadikan lokasi wisata untuk banyak orang.
Lokasinya ada di sebelah utara kraton terletak jalan paling berpengaruh dalam kehidupan kota Yogyakarta. Jalan Malioboro adalah jalan perbelanjaan utama di Yogyakarta, Indonesia, nama ini juga lebih umum digunakan untuk lingkungan sekitar jalan. Letaknya pada sumbu utara-selatan di garis antara Kraton Yogyakarta dan Gunung Merapi. Ini sendiri penting bagi banyak penduduk setempat, orientasi utara-selatan antara istana dan gunung berapi menjadi penting.
Dalam bahasa Sansekerta, kata ‘Malioboro berarti karangan bunga atau karangan bunga. Mungkin terkait dengan masa lalu ketika Karaton mengadakan acara besar maka Malioboro akan penuh dengan bunga. Kata Malioboro juga berasal dari kata Marlborough, nama Duke Inggris yang tinggal di sana pada tahun 1811-1816 dan pendirian Jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta.
Jalan ini merupakan pusat kawasan wisata terbesar di Yogyakarta yang dikelilingi oleh banyak hotel, restoran, dan toko di dekatnya. Trotoar di kedua sisi jalan dipenuhi dengan kios-kios kecil yang menjual berbagai barang. Di malam hari beberapa restoran pinggir jalan terbuka, yang disebut lesehan, beroperasi di sepanjang jalan.
Ini adalah jalan para seniman. Musisi jalanan, pelukis, dan seniman lainnya memamerkan kreasi mereka di jalan ini. Kurang jelas bagi turis, tetapi bagi penduduk lokal, jalan samping, jalur dan bangunan yang mengarah ke Malioboro sama pentingnya dengan jalan itu sendiri.
Dalam inkarnasi awal sebagai bagian dari konsep kota Jawa, Jalan Malioboro ditata dalam sumbu imajiner yang membentang utara-selatan dan berkorelasi dengan Kraton ke Gunung Merapi di utara dan Laut Selatan sebagai simbol supranatural.
Pada masa kolonial pada 1790 sampai 1945, pola urban kota Yogyakarta seolah-olah diinterupsi oleh Belanda sebagai strategi untuk mempertahankan dominasi mereka dengan membangun Benteng Vredeburg pada 1790 di ujung selatan Jalan Malioboro dekat dengan pasar tradisional yang ada.
Kediaman Gubernur Belanda di 1830, Bank Jawa dan Kantor Pos. Pesatnya perkembangan ekonomi pada masa itu akibat perdagangan antara Belanda dan Tionghoa juga mendorong Sultan untuk membagi-bagikan tanah di sub-bagian jalan Malioboro kepada Komunitas Tionghoa, yang kemudian dikenal sebagai Distrik Tionghoa.
Perkembangan Yogyakarta pada masa ini didominasi oleh kegiatan Belanda dalam membangun fasilitas untuk menunjang perekonomian dan kekuasaan mereka, seperti pembangunan stasiun induk di tahun 1887 di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membelah jalan menjadi dua bagian.
Sementara itu, Jalan Malioboro memiliki peran penting pada masa kemerdekaan pasca 1945, dimana bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaannya dalam pertempuran yang terjadi di utara-selatan di sepanjang jalan tersebut.
Saat ini jalan tersebut berada di pusat kawasan wisata terbesar di Yogyakarta, dengan arsitektur bersejarah era kolonial Belanda bercampur dengan kawasan komersial Cina dan kontemporer. Trotoar di kedua sisi jalan dipenuhi dengan kios-kios kecil yang menjual berbagai barang.
Di malam hari beberapa restoran terbuka, yang disebut lesehan, beroperasi di sepanjang jalan. Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, tetapi pada 1980-an telah menjadi satu arah saja, dari jalur kereta api di mana ia dimulai ke selatan ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir, tidak jauh dari Benteng Vredeburg, sebuah bangunan Belanda yang dipugar. benteng.
Hotel terbesar dan tertua era Belanda, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur, berdekatan dengan jalur kereta api. Itu juga merupakan kompleks rumah mantan Perdana Menteri zaman Belanda, kepatihan, di sisi timur, yang kini menjadi kantor Pemerintah Provinsi.